Chioko, Ulambana dan Pattidana
Ceramah Dhamma Oleh: Bpk. Rudy Arijanto
Pada bulan tujuh penanggalan lunar, banyak kelenteng dan vihara menyelenggarakan upacara Chio ko, Ulambana. Apa sih bedanya dengan pattidana?
Sebenarnya tidak bisa dibilang berbeda tapi juga memang tidak sama. Upacara Ulambana atau Chio ko dilaksanakan oleh umat Buddha dari Mazhab Mahayana sedangkan Pattidana dilaksanakan oleh umat Buddha dari Mazhab Theravada.
Ulambana dilaksanakan hanya pada bulan tujuh penanggalan lunar terutama pada tanggal 15 saat bulan purnama penuh. Pattidana dilaksanakan setiap saat, tidak tergantung pada waktu tertentu. Setelah melaksanakan suatu kebaikan maka kebajikan tersebut dilimpahkan kepada sanak keluarga yang telah meninggal. Pattidana lebih dikenal sebagai upacara pelimpahan jasa.
Tradisi Ulambana berdasarkan pada Ulambana Sutra. Dikisahkan Maha Mogallana dengan kekuatan kesaktiannya dapat melihat ibunya terlahir di alam setan kelaparan. Beliau dengan semua kesaktiannya berusaha untuk menolong ibunya yang sangat menderita dengan memberikan makanan, namun tidak berhasil. Buddha lalu menasihati Maha Mogallana untuk melakukan upacara dengan mengundang anggota Sangha, melakukan dana makanan lalu melimpahkan jasa tersebut kepada ibunya. Dengan cara tersebut ibunya dapat tertolong dan terbebas dari alam setan kelaparan.
Ibu Maha Mogallana dapat tertolong karena beliau merasa ikut berbahagia saat perbuatan baik yang dilakukan oleh Maha Mogallana tersebut dilimpahkan kepada nya.
Tradisi Pattidana didasarkan kepada cerita tentang raja Bimbisara yang setelah mengundang Buddha dan siswanya untuk diberikan dana makanan namun setelah itu raja Bimbisara tidak melakukan pelimpahan jasa untuk sanak keluarganya yang telah meninggal. Malamnya raja Bimbisara diganggu oleh para leluhurnya. Setelah menanyakan penyebab kejadian tersebut maka raja Bimbisara kemudian mengulang pemberian dana makanan kepada Buddha dan para siswanya dan setelah itu melimpahkan jasa kepada para leluhurnya.
Jadi pada prinsipnya, baik Ulambana maupun Pattidana adalah tindakan pelimpahan jasa perbuatan baik yang telah kita lakukan dan melimpahkan jasa kebaikan tersebut kepada sanak keluarga atau leluhur yang telah meninggal. Tujuannya agar sanak keluarga yang telah meninggal tersebut ikut merasa bahagia sehingga dapat mendorong untuk bertumimbal lahir kembali di alam yang lebih baik.
Sekalipun ada tradisi pelimpahan jasa untuk menolong sanak keluarga yang telah meninggal, Namun jauh lebih baik lagi jika kita bisa berbuat baik kepada mereka semasa masih hidup. Apalagi dalam tradisi Theravada dipercaya hanya sanak keluarga yang terlahir di alam setan kelaparan lah yang dapat menerima pelimpahan jasa tersebut. Jika terlahir di alam lain, bagaimanapun juga tidak dapat menerima pelimpahan jasa tersebut.
Dalam ceramah Dhamma kali ini Bapak Rudy Arijanto bercerita seputar masalah kematian dalam tradisi umat Buddha Tionghoa. Tidak langsung mengenai tradisi pelimpahan jasa seperti yang diuaraikan diatas namun menyangkut kebiasaan masyarakat Tionghoa seputar kematian ini, seperti:
- Apakah Sembahyang harus ada foto almarhum
- Mengapa menaruh mutiara dalam mulut jenazah
- Bagaimana jika air mata menetes mengenai jenazah
- Bagaimana menjelaskan soal kematian kepada anak kecil
Serta hal hal lain menyangkut bagaimana perlakuan serta cara kita menghadapi orang tua yang cerewet, keras kepala dan kelakuan buruk orang tua yang memang sudah tidak bisa dirubah.
Silakan anda mengklik tombol play dibawah ini untuk mendengarkan ceramah Dhamma dari bapak Rudy Arijanto seputar masalah kematian ini.
Ceramah Dhamma Rudy Arijanto ‘Chioko, Ulambana dan Pattidana
Download Ceramah Dhamma Rudy Arijanto Chioko, Ulambana dan Pattidana. 15.6 MB
Selamat mendengarkan. Semoga bermanfaat.
tidak bisa di dowload